Minggu, 18 Desember 2016

PENGERTIAN ILMU TAUHID DAN MACAM-MACAMNYA

Pengertian Ilmu Tauhid

Menurut arti harfiah tauhid itu ialah “mempersatukan”, berasal dari kata “wahid” yaitu “satu” yang berarti Keyakinan tentang satu atau esanya Tuhan dan segala pikiran dan teori berikut dalil-dalilnya yang menjurus kepada kesimpulan bahwa tuhan itu satu.[1]
Dinamakan Ilmu Tauhid karena tujuannya menetapkan ke-Esaan Allah dalam zat dan perbuatannya dalam menjadikan alam semesta dan hanya Allah lah yang menjadi tempat tujuan terakhir alam ini. Prinsip inilah yang yang menjadi tujuan utama dari pada ajaran Nabi Muhammad Saw.[2]

Pembagian Macam-Macam Ilmu Tauhid

A.    Tauhid asma wa sifat ( tauhid tentang dzat,nama-nama, dan sifat-sifat Allah)

Asma-asma Allah yang berbagai macam dan Maha Tinggi tidak dapat diketahui kecuali dengan jalan wahyu Ilahi. Allah lebih tahu tentang nama-namaNya dari pada pengetahuan yang dimiliki hamba-hambaNya. Walaupun seorang nabi atau rasul yang telah diberi keistimewaan dari manusia lainnya yang tidak mendapat hidayah wahyu ilahi, tidak akan mampu menyamai pengetahuan Allah. Untuk mengenal Allah dengan segala sifat-sifatNya yang tinggi,nama-namaNya yang baik, keagungan dan keindahan yang dimilikiNya, manusia harus bepegang teguh pada dua prinsip:
1.      Jangan sampai menamakan Allah dengan nama yang tidak digunakan untuk menamakan diriNya,tidak disebutkan dalam Kitab-kitabnya,maupun tidak pernah keluar dari lidah Nabi-nabiNya.
2.      Sesungguhnya tiada manusia yang bisa menyamai Allah. Baik dalam perbuatan,perkataan,maupun sifat-sifatNya. Secara Syar’i maupun secara akal tidak akan dapat menerima. Mustahil jika ada manusia yang menyamai Allah.

Sifat-sifat Allah yang telah dipercayai oleh orang mukmin tersebut mustahil jika ada yang menyamai dengan sifat-sifat Makhluknya. Tentu berberbeda jauh sekali antara khaliq(pencipta) dengan makhluk(ciptaanNya).[3]

Adapun Satu atau Esa dalam sifatNya berarti:
1.      Satu persatunya sifat Allah itu hanya satu,tidak terdiri dari bagian-bagian. Misalnya sifat kudrat itu satu dan tidak terbagi-bagi, sifat ilmu satu dan tidak terbagi-bagi. Begitu juga lain-lain sifat. Berbeda dengan sifat manusia,misalnya kekuatan atau kekuasaan yang selalu terbagi-bagi,sebab kekuatan dan kekuasaan manusia tidak bisa meliputi segala keadaan,segala suasana dan segala zaman. Ilmu alam,ilmu ukur, dsb.
2.      Tidak ada yang memiliki sifat Allah. Kekuatan/kemampuan atau kekuasaan atau kudrat manusia tidak sama dengan kekuasaan atau kudrat Allah. Ilmu pengetehauan manusia tidak sama dengan ilmu Allah. Segala perkiraan yang mempersamakan sifat Allah dengan sifat makhluknya itu tidak benar.[4]

B.     Tauhid Rububiyah

Rububiyah berasal dari kata “Rabb” yang mempunyai arti mencipta,memberi rezeki,memelihara,mengelola dan memiliki. Allah adalah satu-satunya Zat Yang Maha Mencipta,Memberi Rezeki,Memelihara,Mengelola dan Memiliki.[5]
Tauhid Rububiyah ialah suatu kepercayaan, bahwa yang diciptakan alam dunia beserta isinya ini,hanya Allah sendiri tanpa bantuan siapapun. Dunia ini ada, tidak berada dengan sendirinya tetapi ada yang menciptakan dan ada pula yang menjadikan yaitu Allah SWT.[6]
Allah ialah Rabb yang benar untuk seluruh alam. Hanya dia lah yang menyandang sifat Rububiyah ini,tanpa ada sekutu denganNya. Dia tidak mempunyai sekutu dalam sifat-sifat Rububiyah yang benar, yaitu penciptaan,perencanaan,pengaturan,dan pemberian rizki.
Dia menganugerahkan, memberi,melarang,atau mencegah,menyengsarakan,memberi manfaat,memuliakan,maupun merendahkan.[7]

C.     Tauhud Uluhiyah

Tauhid Uluhiyah adalah mengEsakan Allah Ta’ala dan beribadah kepadaNya sesuai syariat yang telah ditetapkan,sehingga manusia akan menyerahkan atau menggantungkan dirinya kepada Allah agar mendapat rahmat dariNya. Tiada sesuatu yang dapat diserahi semua itu selain Allah.[8]
Manusia bersujud kepada Allah, Allah tempat meminta,Allah tempat mengadukan nasibnya, manusia wajib mentaati perintah dan menjauhi laranganNya. Semua yang berupa kebaktian langsung kepada Allah, tanpa perantara. Allah melarang menyembah selainNya, seperti menyembah batu,menyembah matahari apalagi menyembah manusia. Itu semua perbuatan syirik yang sangat besar dosanya dan dibenci oleh Allah,bahkan Allah tidak akan mengampuni dosa musyrik itu.[9]













BAB III
PENUTUP
Kesimpulan

Dari semua penjelasan yang telah dipaparkan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan, bahwa:

·         Ilmu Tauhid adalah ilmu yang mempelajari tentang meniadakan persamaan terhadap dzat Allah,sifat-sifat,perbuatan,sekutu,ketuhanannya maupun ibadahNya dan segala pikiran dan teori berikut dalil-dalilnya yang menjurus kepada kesimpulan bahwa tuhan itu satu.

Adapun macam-macam ilmu tauhid,sebagai berikut:
a.       Tauhid asma wa sifat: yaitu meyakini dan mengagungkan dzat,nama-nama,dan sifat-sifat Allah karena manusia tidak akan bisa menyamai dzat,nama-nama maupun sifat-sifat yang dimiliki oleh Allah.
b.      Tauhid Rububiyah : yaitu meyakini bahwa Allah adalah satu-satunya Zat Yang Maha Mencipta,Memberi Rezeki,Memelihara,Mengelola seluruh MakhlukNya.
c.       Tauhid Uluhiyah : yaitu mempercayai dan menyakini sepenuhnya bahwa Allah-lah yang berhak menerima semua peribadatan makhluk dan hanya Allah sajalah yang sebenarnya dan yang harus disembah.


[1] Zainuddin, Ilmu Tauhid Lengkap,cetakan kedua (Jakarta: RINEKA CIPTA ,1996), halm. 1
[2] Ibid, Halm. 3
[3] Abu Bakar Jabir Al-Jazairi,Aqidah seorang Mukmin,cetakan I (Solo:PUSTAKA MANTIQ,1994),halm. 83-85
[4] Zainuddin, Ilmu Tauhid Lengkap,cetakan kedua (Jakarta: RINEKA CIPTA ,1996), halm. 19
[5] Yunahar Ilyas,Kuliah Aqidah Islam,cetakan kesembilan belas (Yogyakarta:Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam,2016), halm. 20
[6] Zainuddin, Ilmu Tauhid Lengkap,cetakan kedua (Jakarta: RINEKA CIPTA ,1996), halm. 20
[7] Abu Bakar Jabir Al-Jazairi,Aqidah seorang Mukmin,cetakan I (Solo:PUSTAKA MANTIQ,1994),halm. 87
[8] Abu Bakar Jabir Al-Jazairi,Aqidah seorang Mukmin,cetakan I (Solo:PUSTAKA MANTIQ,1994),halm. 99
[9] Zainuddin, Ilmu Tauhid Lengkap,cetakan kedua (Jakarta: RINEKA CIPTA ,1996), halm. 17



DAFTAR PUSTAKA

Zainuddin. Ilmu Tauhid Lengkap. 1996. Jakarta:RINEKA CIPTA.
Abu Bakar Jabir Al Jazairi. Aqidah Seorang Mukmin. 1994. Solo:PUSTAKA MANTIQ
Ilyas Yunahar. Kuliah Aqidah Islam. 2016. Yogyakarta:Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI)


Rabu, 02 November 2016

Tafsir Klasik dan Tafsir Kontemporer



TAFSIR KLASIK DAN KONTEMPORER

A.      TAFSIR KLASIK

Awal mula munculnya penafsiran adalah sejak Al-Qur’an itu diturunkan, yaitu dimulai sejak masa Nabi Muhammad SAW (571-632H). Setiap kali ada ayat turun, Nabi Saw membacakannya dan menjelaskannya kepada para sahabat,terutama menyangkut ayat-ayat yang musykil (sulit dimengerti maksudnya). Namun model penafsiran Nabi waktu itu masih bersifat ijmali (global) dan disampaikan secara oral serta belum dirumuskannya metodologi tafsir secara akademis-sistematis.

Selanjutnya, setelah Nabi Saw wafat, tradisi penafsiran dilakukan oleh para sahabat, seperti Abdullah ibn Abbas (w.640),Abdullah ibn Mas’ud (w.653), Zayd ibn Tsabit (w.665),Ubay ibn Ka’b (w.640) ,dan sebagainya dengan pola dan system yang hampir sama dengan masa Nabi. [1]

Penafsiran pada masa sahabat juga masih bersifat oral dengan metode periwayatan. Sumber utama penafsiran mereka adalah Al-Qur’an itu sendiri, selain Al-Quran sumber penafsiran yang mereka gunakan yaitu hadis. Sebab banyak hadis yang merupakan penjelasan terhadap ayat-ayat yang musykil yang dulu ditanyakan sahabat kepada Nabi. Lalu mereka juga mengambil variasi bacaan(qira’ah) qur’an sebagai sumber penafsiran.

Setelah berakhirnya penafsiran pada masa sahabat, maka tradisi penafsiran dilanjutkan oleh generasi para tabi’in.  Pada masa tabi’in ini mulai muncul aliran-aliran tafsir. 
Ada 3 aliran yang menonjol di era tabi’in,yaitu: 

1.       Aliran makkah, seperti Sa’id bin Jubayr (w.sekitar 712-713 M),Ikrimah (w.723 M), dan Mujahid ibn Jabr (w. 722 M). yang ketika itu mereka berguru kepada sahabat Ibnu Abbas.

2.       Aliran Madinah, seperti Muhammad bin Ka’b (w.735 M),Zayd ibn Aslam al-Qurazhi (w. 735 M), dan Abu Aliyah (w.708 M) yang berguru kepada sahabat Ubay ibn Ka’b.

3.       Aliran Iraq, seperti ‘Alqamah ibn Qays (w. 720 M) , ‘Amir al-Sya’bi (w.723 M),  Hasan Al-Bashri  (w. 738 M), Qatadah ibn Di’amah al-Sadusi (w. 735 M) mereka berguru kepada sahabat Abdullah bin Mas’ud.[2]

Tafsir  di masa Nabi SAW,sahabat dan permulaan masa tabi’in dapat dikategorikan sebagai tafsir era qabla tadwin (sebelum kodifikasi) atau disebut juga sebagai periode pertama. Sedangkan periode kedua , bermula dengan kodifikasi hadis secara resmi pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz(99-101 H) dimana tafsir ketika itu masih bergabung dengan hadis dan dihimpun dalam satu bab seperti bab-bab hadis. Periode kedua ini berlanjut hingga periode ketiga dengan munculnya kodifikasi tafsir secara khusus dan terpisah dari hadis, yang oleh para ahli diduga dimulai oleh al-Farra’ (w. 207) dengan kitabnya Ma’anil al-Qur’an.


Pada periode ketiga itulah era pasca para tabi’in yaitu generasi atba’ tabi’in.  Tokoh-tokohnya antara lain Yazid ibn Harun al-Sulami (w.117 H), Sufyan ibn ‘Uyainah (w.198 H),Syu’bah ibn Ubaidah  (w.205) Abdur Razzaq ibn Hammam (w.211 H).  Pada masa ini lah, pembukuan tafsir  dilakukan secara khusus, yang menurut para sejarawan dimulai pada akhir Dinasti Umayyah dan awal Dinasti Abbasiyah.[3]

Terjadi semacam pergeseran paradigma mengenai rujukan penafsiran antara era sahabat dengan era tabi’in. Pada era tabi’in sudah mulai banyak menggunakan sumber-sumber isra’illiyat sebagai rujukan penafsiran, terutama terhadap ayat-ayat yang berupa kisah dimana al-Qur’an hanya menceritakan secara global. Hal ini disebabkan banyaknya ahli kitab yang masuk Islam dan para tabi’in ingin mencari informasi secara detil tentang kisah-kisah yang masih global dari mereka, seperti Abdullah ibn Salam, Ka’b al-Akhbar, Wahb ibn Munabbih dan Abdul Malik ibn Abdul Aziz ibn Juraij.[4]

Apapun pergeseran dan perubahan yang terjadi dari era sahabat ke tabi’in tersebut,namun yang jelas tradisi penafsiran Al-Qur’an waktu itu cukup tumbuh dan berkembang sampai berakhirnya masa tabi’in.

B.      TAFSIR KONTEMPORER

Penafsiran pada era ini dimulai sejak akhir abad 18 M, bermula pada masa syaikh Muhammad Abduh (1849-1905 M), corak-corak penafsiran tersebut mulai berkurang dan perhatian lebih banyak tertuju kepada corak sastra budaya kemasyarakatan. Yakni satu corak tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat,serta usaha-usaha untuk menanggulangi penyakit-penyakit atau masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti tapi indah di didengar.[5]

Tokoh-tokohnya antara lain :

·         Di Mesir, munculah tafsir Muhammad Abduh,Rasyid Ridha, Ahmad Khalaf, dan Muhammad Kamil.
·         Di Belahan Indo-Pakistan, seperti Abu Azad, Al Masriqqi, G.A Parws,
·         Di Timur tengah, antara lain Amin Al-Khully (w.1978), Hasan Hanafi, Bita Shathi (w.2000), Nasr Abu Zayd, Muhammad Shahrur, dan Fazlur Rahman.[6]

Merujuk pada temuan ulama kontemporer, yang dianut sebagian pakar al-Qur’an pemilihan metode tafsir Al-Qur’an kepada empat metode Ijmali(global), Tahlili(analisis),Muqarin(perbandingan), dan Maudlui(tematik), ditambah satu metode yaitu metode Kontekstual (Menafsirkan al-Qur’an berlandaskan pertimbangan latar belakang sejarah,sosiologi,budaya,adat-istiadat, dan pranata-pranata yang berlaku dan berkembang dalam masyarakat Arab sebelum dan sesudah turunnya Al-Qur’an).

Perbedaan Tafsir Klasik dan Tafsir Kontemporer
Jenis tafsir
Sumber penafsiran
Metode penafsiran
Corak penafsiran
Karakteristik penafsiran
Tafsir Klasik
Al-Qur’an, Hadist Nabi saw, riwayat para sahabat, riwayat para tabi’in, riwayat Tabi’inat tabi’in, cerita ahli kitab, Ijtihad.
Tafsir bil ma’tsur
Pembahasannya bercorak ijmaly (global)
Bersifat ijmaly dengan periwayatan Rasulullah Saw, Ijtihad sahabat dan dipengaruhi oleh cerita ahli kitab.
Tafsir Kontemporer
Al-Qur’an, Hadist Nabi saw,Tafsir dari Sahabat, Tabi’in dan tabi’int tabi’in, kaidah bahasa arab dan segala cabangnya, ilmu pengetahuan yang berkembang,Ijtihad, Pendapat para mufasir terdahulu.
Menggabungkan Tafsir bil ma’tsur dan tafsir bil ra’yi
Pembahasannya bercorak ijmaly, tahlily(detail), muqaran (penggabungan), maudhu’iy (tematik)
Mengembangkan berdasarkan aspek keilmuan



DAFTAR PUSTAKA :
Munawir Fajrul, dkk. AL-QUR’AN.2005.Yogyakarta:Pokja Akedemik UIN Sunan Kalijaga.
Mudawari Syamsul. TAFSIR-ILMU TAFSIR.Blitar:DIKTAT MA MA’RIF NU KOTA BLITAR.


[1] Munawir Fajrul, dkk. AL-QUR’AN.2005.Yogyakarta:Pokja Akedemik UIN Sunan Kalijaga. Hal.127
[2] Munawir Fajrul, dkk. AL-QUR’AN.2005.Yogyakarta:Pokja Akedemik UIN Sunan Kalijaga. Hal. 131
[3] Munawir Fajrul, dkk. AL-QUR’AN.2005.Yogyakarta:Pokja Akedemik UIN Sunan Kalijaga. Hal. 132-133
[4] Munawir Fajrul, dkk. AL-QUR’AN.2005.Yogyakarta:Pokja Akedemik UIN Sunan Kalijaga. Hal. 133
[5] Munawir Fajrul, dkk. AL-QUR’AN.2005.Yogyakarta:Pokja Akedemik UIN Sunan Kalijaga. Hal. 143
[6] Mudawari Syamsul. TAFSIR-ILMU TAFSIR.Blitar:DIKTAT MA MA’RIF NU KOTA BLITAR. Hal. 22